
1.
Pengertian Kewiraswastaan
Kewirausahaan (enterpreneurship)
berarti menerima risiko untuk mengawali dan menjalankan sebuah usaha.[1] Rue
dan Byars membatasinya sebagai perilaku yang terus menerus mencari ide tentang
produk atau jasa apa yang akan dihasilkan, menjalankan organisasinya, dan
membangunnya pada titik dimana tambahan orang-orang diperlukan.[2] George
dan Jones mendefinisikannya sebagai keinginan untuk mengambil risiko dan
membuka diri untuk pengalaman baru.[3]
Melengkapi pendapat sebelumnya, kewirausahaan – menurut Robbins adalah perilaku
yang terus mencari peluang-peluang dalam
organisasi ataupun di lingkungannya dan melaksanakannya dalam upaya membuat
perubahan.[4]
Pendapat di atas
pada dasarnya memandang kewirausahaan sebagai sesuatu yang terkait dengan
perilaku meliputi: (1) penuh inisitaif; (2) mengorganisasikan dan mereorganisasikan
mekanisme sosial atau ekonomis untuk mengubah sumber daya atau situasi menjadi
suatu produk yang menguntungkan; (3) menerima risiko atau kegagalan.
Meskipun tidak
salah, namun definisi di atas telah
membatasi kewirausahaan hanya pada kegiatan perekonomian atau bisnis. Padahal
menurut Hisrich dan Peters, kewirausahaan itu juga ditemukan pada profesi lain,
seperti: pendidikan, kesehatan, penelitian, ataupun pekerjaan sosial lainnya.[5]
Untuk mengatasi
kekurangan atau kelemahan definisi-definisi tersebut, diperlukan sebuah rumusan
definisi yang mampu meng-akomodasi semua profesi. Salah satu definisi
kewirausahaan yang mampu mencakup semua profesi dikemukakan oleh Hisrich dan
Peters yang menegaskan bahwa kewirausahaan adalah proses menciptakan hal-hal yang berbeda dengan nilai
sebelumnya dengan memanfaatkan waktu dan usaha yang diperlukan, mengasumsikan
resiko keuangan, fisik, dan sosial, dan
menerima hasilnya dalam bentuk imbalan moneter dan kepuasan kerja.[6]
Jika dirujuk pada
definisi di atas, kewirausahaan tidak semata-mata diarahkan untuk mencari
keuntungan yang bersifat moneter, melainkan juga untuk kepuasan kerja para
pelakunya. Relevan dengan pandapat sebelumnya Banfe membatasinya sebagai,
memikirkan kembali paradigma lama, menyempurnakan cara-cara tradisional dalam
melakukan sesuatu.[7] Melengkapi pendapat
sebelumnya, Drucker menegaskan kewirausahaan sebagai upaya-upaya seseorang meningkatkan sumber-sumber daya yang
rendah dan tak bernilai menjadi sesuatu
yang memiliki nilai tambah.[8]
2. Kewiraswastaan
sebagai Pengembangan Perilaku Bisnis
Jika pendapat di atas
diintegrasikan, maka kewirausahaan pada dasarnya merupakan sebuah perilaku.
Sebagai perilaku, kewirausahaan merupakan perilaku yang secara terus-menerus:
(a) mencari ide-ide; (b) mengembangkan
dan mengelolanya agar memiliki nilai ekonomi; dan (c) melibatkan orang lain
jika diperlukan. Dengan demikian, seorang wirausahaan tidak pernah berhenti
berpikir untuk mendapatkan hal-hal baru yang dapat memuaskan hatinya.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, kewirausahaan merupakan perilaku yang secara
terus menerus mencari ide-ide baru. Dengan demikian, kewirausahaan selalu
terkait dengan inovasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Drucker yang menegaskan
bahwa inovasi merupakan alat kewirausahaan.[9]
Inovasi
itu sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan
yang menjadikan peluang-peluang ke dalam ide-ide baru dan melaksanakannya
agar terwujud dengan baik.[10]
Pendapat lain menegaskan, inovasi merupakan sebuah ide, praktik, atau objek
yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau kelompok adopsi
lainnya.[11]
Jiwa kewiraswastaan
hendaklah senantiasa melakukan inovasi yang dapat memberikan kepuasan kepada
pelanggannya (customer) atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan
institusi tersebut (stakeholder). Sallis menegaskan pelanggan dapat
dibagi ke dalam dua jenis, yakni: pelanggan eksternal dan pelanggan internal.
Pelanggan eksternal dalam institusi pendidikan keterampilan adalah peserta
pendidikan atau orang tua mereka, sedangkan yang termasuk kategori stakeholdernya
adalah para pengguna jasa lulusan institusi tersebut.[12]
Sesuai pendapat di
atas upaya inovasi dalam institusi pendidikan keterampilan hendaklah diarahkan
pada upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada para peserta, stakeholder
dan karyawannya. Upaya ini akan dapat
membawa institusi tersebut menjadi lebih baik dan mampu bertahan lebih lama.
Organisasi yang mampu bertahan lebih lama menurut Peters dan Waterman memiliki
delapan kriteria, yakni: (a) a bias for action yang berarti kemauan
untuk bereksperimen; (b) close to the customer atau dapat diartikan
kemauan untuk mendengar konsumennya; (c) autonomy and entrepreneurship
secara operasional berarti toleran terhadap sejumlah kesalahan yang masuk akal
sebagai bagian dari inovasi; (d) productivity through people –
memperlakukan karyawan secara terhormat dan memberikan kepercayaan yang lebih
besar kepada mereka; (e) hands on, value driven yang berarti mengkomunikasikan filosofi dan
nilai-nilai organisasi secara jelas; (f) stick to the knitting, penekanan pada pertumbuhan internal; (g) simple
form, lean staff, struktur yang
ramping dan memiliki fungsi yang kaya; dan (h) simultaneous loose-tight
properties atau dapat diinterpretasikan sebagai memberikan otonomi yang
seluas-luasnya kepada karyawan, namun dengan tetap memelihara nilai-nilai inti
organisasi.[13]
Jika dirujuk pada
uraian di atas, inovasi pada dasarnya terlahir dari perilaku kewirausahaan.
Kewirausahaan itu sendiri tidak selamanya harus dimanifestasikan ke institusi
eknonomi saja, melainkan dapat dimanifestasikan pada seluruh profesi, seperti
pendapat Drucker yang menegaskan, “enterpreneurship is by no means confined
solely to economic institusions.[14] Sesuai dengan pendapat ini, maka
kewirausahaan dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk penerapan ide-ide baru,
tidak hanya pada kegiatan yang dapat memberikan nilai tambah ekonomis, tetapi
juga pada institusi sosial, seperti mesjid, gereja, panti sosial dan institusi
sosial lainnya untuk meningkatkan peran dan fungsinya masing-masing.
3. Perilaku
Bisnis yang Inovatif
Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya bahwa alat kewirausahaan adalah inovasi. Berinovasi
berarti melakukan perubahan dan hal ini biasanya memiliki risiko. Risiko yang
muncul antara lain adalah: (1) gagal membuat perubahan, sedangkan hal yang ada
sebelumnya telah cenderung telah dipreteli; (2) perubahan yang telah dilakukan
belum tentu lebih baik dari yang pertama; dan (3) perubahan yang dilakukan
belum tentu dapat diterima oleh pelanggan potensial. Meskipun dengan risiko
yang demikian banyak, seorang wirausaha tetap saja akan melakukan perubahan
tersebut sebab menurut Drucker kewirausahaan selalu terkait dengan risiko.
Keberanian mengambil risiko inilah yang menjadi salah satu karakteristik
perilaku seorang wirausahawan yang berhasil. Keberanian mengambil risiko dalam
konteks ini bukan berarti bahwa seorang wirausahawan sama dengan seorang
penjudi. Wirausahawan yang sejati selalu memiliki perhitungan-perhitungan yang
lebih matang dan selalu siap menerima risiko perbuatannya sendiri.[15]
Wirausaha yang
berhasil, menurut Banfe, bukan terlahir
karena bakatnya, melainkan karena proses belajar dari lingkungan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa karakteristik wirausahawan yang baik adalah selalu: (1) belajar dari inovator
lain; (2) memiliki motivasi; (3) memiliki visi; (4) berorientasi pada strategi;
(5) melihat dan mencari peluang-peluang yang ada; (6) mengetahui individu yang
berbakat; (7) seorang pekerja yang ulet; dan (8) selalu ingin mengetahui
bagaimana melakukan sesuatu.[16]
Jika pendapat di
atas diimplementasikan, seorang wirausahaan memiliki ciri-ciri: Pertama,
selalu belajar dari orang lain yang terbukti telah menghasilkan perubahan. Kedua, memiliki keinginan yang kuat
untuk melakukan perubahan sehingga apapun rintangan yang dihadapinya akan dapat
dilalui dengan baik. Ketiga, seorang wirausahaan memiliki perspektif
yang jauh ke depan. Keempat,
selalu mengkaji kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya dan kelebihan
dan kekurangan yang orang lain. Kelima, seorang wirausaha yang berhasil
tidak pernah berdiam diri dan merasa puas dengan apa yang telah dicapainya,
sebaliknya tetap berupaya mencari peluang-peluang lain. Keenam,
mengetahui dengan siapa ia harus bekerjasama karena biasanya ia mengetahui
individu yang berbakat. Ketujuh,
seorang wirausaha tidak pernah menyerah dengan keadaan ataupun dengan
kelemahan yang dimilikinya dan selalu berupaya
mengatasi keadaan dan kelemahan sepanjang masih bisa diperbaiki. Terakhir,
seorang wirausahaan sejati memiliki pengetahuan yang luas dengan apa yang
sedang dikerjakannya sehingga ia selalu
mengetahui bagaimana melakukan sesuatu.
Berbeda dengan
pendapat sebelumnya, Jackson dan Museelman menyatakan bahwa terdapat 10
karakteristik perilaku wirausaha yang berhasil, yakni memiliki: (1) hasrat yang
kuat untuk mandiri; (2) kemauan untuk mengambil resiko; (3) kemampuan belajar
dari pengalaman; (4) motivasi diri (self motivation); (5) semangat
berkompetisi; (6) berorientasi pada kerja keras; (7) percaya diri; (8) hasrat
untuk berprestasi; (9) memiliki energi yang tinggi; dan (10) asertif .[17]
Liraz.com membagi
jenis kewirausahaan ke dalam wirausahawan umum dan wirausahawan yang berfungsi
sebagai manajer. Karakteristik
wirausahawan umum yang berhasil adalah: (1) seorang yang mengawali
pekerjaan dari dirinya sendiri (self starter); (2) dapat berinteraksi
dengan banyak orang; (3) mampu memimpin orang lain; (4) bersedia memikul
tanggungjawab; (5) mampu
mengorgani-sasikan pekerjaan; (6) seorang pekerja yang baik; (7) mampu
membuat keputusan; (8) dapat dipercaya
oleh banyak orang; (9) berorientasi pada tujuan; dan (10) mampu menyimpan
catatan-catatan yang diperlukan. Karakteristik
wirausahawan sebagai manajer yang berhasil adalah memiliki: (1) hasrat
yang kuat; (2) kemampuan berpikir; (3) kemampuan berinteraksi dengan orang
lain; (4) keterampilan komunikasi; dan (5) pengetahuan teknik sesuai dengan
bidang kerja yang digelutinya.[18]
Jika dikaitkan
dengan konteks penelitian ini, maka kajian kewirausahaan penyelenggara BLKI
yang dibahas terkait dengan perilakunya. Ciri-ciri perilaku kewirausahaan ini
sangat banyak, namun dalam kajian ini dibatasinya hanya pada ciri-ciri yang
dikemukakan Banfe sebelumnya. Pemilihan ini didasarkan atas karakteristik yang
dikemukakan oleh pakar ini sudah mencakup karakteristik yang dikemukakan oleh
pihak lain.
Upaya organisasi
meningkatkan perilaku kewirausahaan ini, menurut Peterson dan Waterman dapat
dilakukan dengan: (a) membangun sebuah sistem yang mendukung dan menstimulasi
anggotanya untuk mengembangkan produk atau jasa yang baru; (2) toleran terhadap
kagagalan; (3) menganggap kegagalan sebagai awal dari sebuah proses inovasi;
(4) membangun komunikasi yang efektif untuk meningkatkan semangat
kewirausahaan.[19]
Berangkat
dari uraian tersebut di atas, maka kewirausahaan sebagai pengembangan kemampuan
bisnis dapat disintesiskan sebagai perilaku yang penuh hasrat untuk melakukan perubahan-perubahan ke
arah yang lebih baik yang ditandai dengan: (1) belajar dari inovator lain; (2)
memiliki motivasi; (3) memiliki visi; (4) berorientasi pada strategi; (5)
melihat dan mencari peluang-peluang yang ada; (6) mengetahui individu yang
berbakat; (7) seorang pekerja yang ulet; dan (8) ingin mengetahui bagaimana
melakukan sesuatu
.
[1] William G. Nickels, James M. McHugh
& Susan M. McHugh, Understanding Business (Boston: Irwin
McGraw-Hill, 1999), p.163.
[2] Rue & Byars, op cit., p.
11.
[3] Jennifer M. George & Gareth R.
Jones, Organizational Behavior (New
Jersey : Prentice Hall, 2002), p. 53.
[4] Robbins, op cit, pp. 6 -7
[5] Robert D. Hisrich & Michael P.
Peters, Enterpreneurship (Boston: Irwin, 1992), p.1
[6] Ibid., p.10.
[7] Charles Banfe, Enterpreneur. From
Zero To Zero (New York: Van Nostrand Reinhold, 1991), p. 2
[9] Ibid. , p. 27
[10] Joe Tidd, John Bessant, & Keith
Pavitt Managing Innovation:
Integrating Technological, Market and Organizational Change, (New York:
John Wiley & Son, 1994), p. 24
[11] Everett
M. Roger. Diffusion of Innovations (New York: The Free Press, 1995),
p.11
[12] Edward Sallis, Total Quality
Management in Education, (Philadelphia: Kogan Page, 1993), p.32.
[13] Thomas J. Peters & Robert H.
Waterman, Jr., In Search of Excellence, (New York: Harper & Row,
Publishers, 1982), p. 14.
[14] Drucker, op cit., p. 25
[15]
Drucker, op cit., p. 25
[16] Banfe, op cit., p. 32 - 43
[17] John H. Jackson & Vernon A. Musselman, Business
(New Jersey: Prentice-Hall, 1987), p. 165.
[18] Liraz.com, The Entrepeneur Test,
(WWW.liraz.com/webquiz.htm)
[19] Peters & Waterman, Jr., op cit,,
p. 202 - 209
Komentar
Posting Komentar